Kenaikan UMP 2025: Tantangan dan Efektivitas dalam Mengatasi Kemiskinan
Presiden Prabowo Subianto saat mengumumkan kenaikan upah minimum 2025 sebesar 6,5 persen di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (29/11/2024). (Dok. ANTARA). |
REPUBLIKINDONESIA.NET - Pemerintah telah mengumumkan kenaikan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025. Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan rekomendasi awal dari Menteri Ketenagakerjaan yang mengusulkan kenaikan sebesar 6 persen. Presiden Prabowo Subianto menyebut kebijakan ini sebagai langkah positif untuk mendukung pekerja.
Namun, pertanyaan muncul mengenai sejauh mana kenaikan UMP ini efektif dalam melawan kemiskinan, terutama jika dibandingkan dengan garis kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Garis kemiskinan menggambarkan jumlah pengeluaran minimum yang dibutuhkan seseorang atau rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Di beberapa daerah, UMP 2025 sudah melampaui garis kemiskinan. Namun, di banyak provinsi, seperti Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, UMP masih berada di bawah garis kemiskinan per rumah tangga.
Contohnya, di Provinsi Maluku, UMP 2025 sebesar Rp3.141.700 jauh lebih rendah dibanding garis kemiskinan per rumah tangga yang mencapai Rp4.602.094 pada Maret 2024. Kondisi serupa terjadi di Jawa Timur, di mana UMP sebesar Rp2.305.985 hanya sedikit lebih tinggi dari garis kemiskinan per rumah tangga sebesar Rp2.273.157.
Hal ini menunjukkan bahwa penetapan UMP belum sepenuhnya memperhitungkan kebutuhan dasar masyarakat di banyak daerah. Akibatnya, rumah tangga yang bergantung pada UMP berpotensi tetap berada di bawah garis kemiskinan.
Kenaikan UMP yang hanya sedikit di atas garis kemiskinan dapat dengan mudah tergerus oleh guncangan ekonomi, seperti kenaikan harga kebutuhan pokok. Hal ini berisiko mendorong rumah tangga pekerja kembali ke dalam kemiskinan.
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 juga diperkirakan akan memicu inflasi. Menurut Center of Economic and Law Studies (Celios), inflasi akibat kenaikan PPN dapat mencapai 4,11 persen, meningkat tajam dari tingkat inflasi tahunan pada November 2024 yang sebesar 1,55 persen.
Dampak kenaikan PPN ini akan sangat terasa pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok seperti makanan, minuman, dan transportasi. Dengan kenaikan harga barang, daya beli mereka akan semakin tertekan, memaksa mereka untuk mengurangi konsumsi atau mengorbankan kebutuhan penting lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.
Pemerintah telah menyiapkan sejumlah stimulus untuk meredam dampak kenaikan PPN, seperti bantuan pangan berupa beras 10 kilogram selama dua bulan pertama 2025 dan diskon listrik untuk pelanggan tertentu. Namun, insentif ini bersifat sementara dan dinilai belum cukup untuk mengimbangi dampak kenaikan biaya hidup yang bersifat permanen.
Saat ini, penentuan UMP berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024 mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Namun, formula ini perlu diperluas untuk mencakup proyeksi dampak inflasi akibat kenaikan PPN serta biaya hidup di masing-masing daerah.
Kenaikan UMP seharusnya tidak hanya menjadi alat untuk meningkatkan pendapatan pekerja, tetapi juga sebagai benteng melawan kemiskinan. Dengan mempertimbangkan komponen kebutuhan hidup layak yang relevan, UMP dapat dirancang agar lebih efektif dalam memberikan perlindungan ekonomi bagi masyarakat rentan.